Sabtu, 09 Juli 2011

Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas

TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Suatu Kajian Filosofis pada Surat Al Ikhlas)
 

I. PENDAHULUAN

            Sepertinya tidaklah berlebihan jika dikatan bahwa pemikiran manusia itu sangat butuh akan penuntun di dalam aktivitasnya, apalagi dalam berpikir tentang ke-Tuhanan. Tanpa suatu penuntun maka ia akan mengalami kesesatan, contohnya dalam hal kita memecahkan soal aritmatika maupun matematika diperlukan adanya dalil sebagai penuntun agar memperoleh hasil yang benar. Jika salah memakai dalil maka hasilnyapun tak akan benar, bahkan pasti salah.[1].

            Memang yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia dikaruniai akal oleh Tuhan, oleh karenanya dalam ilmu mantiq (logika) manusia dirumuskan dengan “hayawan natiq (hewan yang berpikir)”.[2] Akan tetapi tidak semua persoalan dapat dipecahkan oleh akal, apalagi dalam memikirkan tentang ke-Tuhanan manusia sangatlah membutuhkan tuntunan yang absolut (mutlak benar), tanpa tuntunan tersebut akal manusia itu nisbi dan bersifat subjektif. Hal ini dapat dilihat dari realita yang terdapat di dalam ajaran-ajaran agama di dunia ini, ada agama monotheistis yaitu yang mempercayai bahwa Tuhan itu satu dan Esa,dan adapula agama polytheistis yaitu yang mempercayai dan menyembah banyak tuhan atau dewa.[3] Selain itu ada juga yang menganut faham atheisme yaitu suatu aliran/golongan yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

            Dalam hal ini Islam adalah agama tauhid. Mengenai ajarannya yang berhubungan dengan ke-Tuhanan, manusia dituntun oleh kitab suci al qur’an yang bersifat absolut (mutlak benar), karena kitab tersebut bersumber langsung dari Allah swt. Adapun salah satu isi dari kitab suci tersebut yang membicarakan tentang ke-Tuhanan adalah surat al ikhlas. Surat ini merupakan sebagian dari isi kitab suci al qur’an yang dapat memberikan tuntunan kepada akal manusia yang subjektif itu dalam memikirkan Allah swt (Tuhan semesta alam).

Dari pemaparan di atas, dibuatnya tulisan ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui tauhid dalam pandangan Islam. Dalam hal ini lebih khususkan pada surat al ikhlas yang dapat dikatan bisa mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan.. Oleh karenanya penulis memberi judul tulisan inii dengan “Tauhid Dalam Perspektif Islam (suatu kajian filosofis pada  surat al ikhlas)”


II. Tauhid
A.     Definisi Tauhid Dan Pembagiannya
            Tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu dan kata ahad yang berarti esa. Adapun secara istilah syar’i tauhid berarti mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur, dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain Nya serta menetapkan asma’ul husna (nama-nama yang bagus) dan sifat al ulya (sifat-sifat yang tinggi) bagi Nya dan mensucikan Nya dari kekurangan dan cacat.[4]

            Dari pendefinisian tersebut, para ulama membagi tauhid menjadi tiga bagian, yaitu: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Asma’ wa Shifat dan Tauhid Uluhiyyah. Namun di samping itu, adapula sebagian ulama yang membagi tauhid dalam dua bagian. Salah satu tokoh ulama yang membagi tauhid menjadi dua bagian adalah Al ‘Alamah ibn Qayyim. Dia menjadikan tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat sebagai satu bagian, dan menyebutnya dengan tauhidul ma’rifah wal itsbat, sedangkan yang kedua adalah tauhith thalah wal qashd atau tauhid ilahiyah dan ibadah.[5]

            Kendati para ulama berbeda-beda dalam pembagian tauhid, namun pada dasarnya mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar mempermudah pemahaman mereka terhadap kalimat tauhid. Dalam hal ini seseorang tidak dapat dikatakan muslim hingga pada dirinya terhimpun semua bagian-bagian tauhid tersebut. Jadi, satu bagian saja darinya tidak cukup, tetapi semuanya harus ada dan harus diamalkan, baik secara lahir maupun batin.[6]

1. Tauhid Rububiyyah.
            Secara bahasa rububiyyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan dengan penggunaan yang hakiki dan juga digunakan untuk yang lain secara majazi atau idhafi, dan tidak untuk yang lain. Dari beberapa arti kata rabb tersebut dibentuk kata rububiyyah, yang berarti Mencipta, Memberi rizki, Memiliki, Menguasai, Mengatur, Memperbaiki dan Mendidik. Dan karena Allah adalah Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, mengesakan Nya dalam hal ketuhanan dan tidak menerima adanya sekutu bagi Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluk Nya.[7]

            Secara istilah, tauhid rububiyyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta seisinya ini hanya Allah sendiri, tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada tidak berada dengan sendirinya, tetapi ada yang menciptakan dan ada pula yang mengaturnya, yaitu Allah swt. Allah swt Maha Kuat, tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Dari sinilah timbullah kesadaran bagi makhluk untuk mengagungkan Allah, makhluk harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan tauhid rububiyyah. Jadi tauhid rububiyyah ialah tauhid yang berhubungan dengan soal-soal ketuhanan. Dengan kata lain, tauhid rububiyyah ialah meyakini bahwa tidak ada yang membuat, mengurus dan mengatur semua makhluk ini selain Allah swt.[8] Mengenai tauhid rububiyyah ini Allah swt berfirman, yang artinya:

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)

“Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘arsy dari apa yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiya’: 22)

Dan hadits Nabi saw yang artinya:
“Engkau adalah Rabb di langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘alaih)[9]

2. Tauhid Asma’ wa Shifat
            Secara bahasa asma’ merupakan jama’ dari kata ismun yang berarti nama, sedangkan shifat merupakan jama’ dari kata shifatun yang mempunyai arti sifat. Adapun secara istilah, tauhid asma’ wa shifat ialah suatu keyakinan yang menetapkan asma-asma Allah dan sifat-sifat Nya, meniadakan sekutu bagi Nya dalam asma-asma Nya dan tidak menyerupai asma’ dan sifat-Allah tersebut dengan makhluk.

            Dalam hal ini syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata: “Manhaj salaf dan para imam ahlu sunnah mengimani tauhid al asma’ wa shifat dengan menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas diri Nya dan telah ditetapkan Rasul Nya bagi Nya, tanpa tahrif atau ta’wil (merubah lafazh nama dan sifat atau merubah maknanya atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya), ta’thil (menafikan sifat-sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah swt), takyif (menerangkan atau mempertanyakan keadaan yang sebenarnya *hakikat* sifat-sifat Allah swt), dan tamtsil (mempersamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah swt dengan makhluk Nya)”.[10] Mengenai hal ini Allah swt berfirman, yang artinya:

“Hanya milik Allah al Asmaa’ul Husna, maka bermohonlah kepada Nya dengan menyebut al Asmaa’ul Husna itu…” (QS. Al A’raf:180)

“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar” (QS. Asy Syura’: 11)

“Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan” (QS. Ash Shaffattt: 180)

3. Tauhid Uluhiyyah.
            Secara bahasa kata Uluhiyyah adalah bahasa Arab yang diambil dari kata ilaah yang artinya yang dituju atau yang disembah. Kata ilaah sendiri berasal dari kata aliha-ya’lahu, yang bermakna menuju, memohon atau menyembah.[11] Adapun secara istilah ialah keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak disembah (diibadahi) disertai dengan pelaksanaan pengabdian/penyembahan kepada Nya saja dan tidak mengalihkan selain dari Nya.[12] Oleh karenanya tauhid uluhiyyah ini sering disebut juga sebagai tauhid dalam ibadah.

Tauhid ini merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul, dari yang pertama hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad saw. Selain itu tauhid ini pula yang menjadi tujuan Allah swt menciptakan jin dan manusia. Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu…” (QS. An Nahl: 36)

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku,maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al Anbiya’: 25)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5)

B. Kedudukan Tauhid Dan Fungsinya Bagi Kehidupan.
            Tauhid merupakan kewajiban pertama dan paling utama yang diperintahkan Allah swt kepada setiap hambanya. Namun sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti akan hakikat, kedudukan dan fungsi tauhid tersebut. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakikat, kedudukan dan fungsinya. Hakikat tauhid adalah mengesakan Allah swt. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, tauhid ini terbagi menjadi tiga, yaitu: Tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ wa shifat.

            Adapun kedudukannya (tauhid) di dalam Islam sangat tinggi, bahkan paling tinggi. Berikut ini adalah beberapa keutamaan tauhid, yang dengannya kita dapat mengetahui betapa tingginya kedudukannya di dalam Islam

1. Tauhid merupakan hak Allah swt yang paling besar atas hamba-hamba Nya. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam hadits Mu’adz bin Jabal ra. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba Nya dan hamba atas Allah?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: ”Hak Allah atas hamba Nya adalah mereka menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatupun”. (HR. Bukhari dan Muslim)[13]
2. Tauhid adalah hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)
3. Tauhid merupakan sebab diutusny para Rasul, dan inti serta pembuka dakwah mereka. Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu…” (QS. An Nahl: 36)
4. Tauhid merupakan sebab diturunkannya kitab-kitab Allah swt.
“1) Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. 2) Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu dari Nya  ” (QS. Hud: 1-2)
5. Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Allah saw berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhny telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Allah) niscaya akan hapuslah amalmu dan teneulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar: 65)
6. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindung dari neraka. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, yang artinya:
“Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada Ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga” (HR. Muslim: 26)
“Sesungguhny Allah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang berkata laa ilaaha illallah, mencari wajah Allah dengannya (ikhlas)”  (HR. Bukhari: 425)

            Selanjutnya fungsi tauhid bagi kehidupan. Dalam hal ini syaikhul Islam ibnu Taimiyah ra mengatakan: “Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah swt serta taat kepada Rasulullah saw. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini: fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebanya adalah menyelisihi Rasulullah saw dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah swt. Orang-orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini, baik dalam dirinya maupun di luar dirinya.” (Majmu’ fatawa 15/25)[14]

            Dari perkataan Ibnu Taimiyah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tauhid merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan ini. Sampai-sampai ia mengatakan bahwa pada dasarnya sumber kebaikan di muka bumi ini adalah ketauhidan. Dan sebaliknya, sumber keburukan di muka bumi seperti fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain pada dasarnya dikarenakan ketidak tauhidan manusia kepada Allah swt.

            Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas yang kesemuanya merupakan ibadah kepada Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi manusia.[15] Oleh karenanya, nampak jelas bahwa tauhid memberikan dampak posoitif bagi kehidupan manusia. Bila setiap individu memiliki komitmen tauhid yang kukuh dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan yang besar untuk membangun dunia yang lebih adil, etis dan dinamis.



III. Islam
A. Definisi Islam
            Secara etimologi istilah Islam diambil dari bahasa Arab, aslama-yuslimu-islaaman, yang berarti berserah diri, patuh, taat, tunduk. Pengertian ini menuntut pemeluknya untuk berserah diri, tunduk, patuh dan taat kepada ajaran, tuntunan, petunjuk dan peraturan hukum Allah swt.[16]

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (QS. Ali ‘Imron: 83)

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan…” (QS. An Nisa’: 125)

            Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa kata Islam itu diambil dari kata assalam yang artinya selamat, kemudian dari selamat inilah menjadi mempunyai pengertian silm atau salm yaitu kedamaian, kesejahteraan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada Tuhan.[17]

            Adapun secara terminologi, Isalam berarti ketundukan dan kepatuhan kepada peraturan-peraturan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad saw untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.[18] Dari pengertian inilah agama Islam berarti agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril dengan tujuan agar manusia patuh dan tunduk kepada Nya serta supaya manusia-manusia di dunia dan di akhitar mengalami kesejahteraan hidup.[19]

B. Sumber-sumber ajaran Islam
            Sumber ajaran Islam ialah wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al qur’an dan Al sunnah Rasul saw. Dari kedua sumber inilah kita dapat mengetahui ajaran Islam secara otentik. Tidak ada alternatif lain bagi seorang muslim kecuali berpegang teguh dan kembali pada dua sumber ajaran agama itu.

            Dalam ajaran agama Islam, alqur’an merupakan sumber hukum (ajaran) Islam yang pertama dan paling utama. Ia adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman-firman) Allah swt, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Nya, sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak.[20] Sedangkan Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua. Kedudukannya sebagai sumber sesudah al qur’an adalah disebabkan karena kedudukannya sebagai juru tafsir, yaitu untuk menjelaskan maksud al qur’an dan melengkapi ajarannya, karena sebagai sumber utama, al qur’an tidak pantas memuat segala masalah secara terinci.[21] Dalam hal ini al qur’an menunjuk suunah sebagai pedoman yang harus dipatuhi. Allah swt berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul Nya, dan janganlah kamu berpaling dari Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah Nya)” (QS. Al Anfal: 20)

            Selain ayat tersebut, tidak sedikit ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam agar menjadikan sunnah sebagai pedoman di dalam hidupnya.

C.  Ruang Lingkup ajaran Islam.
            Pada garis besar Islam sebagai suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, dan ini bisa dikatakan merupakan ruang lingkup ajaran Islam. Dalam hal ini Endang Saifuddin Anshori dalam bukunya “Kuliah Al Islam” membagi ruang lingkup ajaran Islam menjadi tiga bagian, yaitu Akidah, Syari’ah dan Akhlak.[22]

1. Akidah.
Menrut etimologi akidah artinya ikatan, janji. Sedangkan menurut terminologi akidah ialah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang da menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.

            Akidah di dalam al qur’an disebut dengan iman, yang artinya membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan amal perbuatan (semua anggota badan). Adapun ruang lingkup iman ada enam, yaitu iman kepada Allah, Iman kepada malaikat-malaikat Nya, iman kepada kitab-kitabnya, iman kepada rasul-rasul Nya, iman kepada hari kiamat dan iman kepada qadha dan qadar.[23]

2. Sayri’ah.
            Menrut etimologi syari’ah artinya jalan, aturan. Sedangkan menurut terminologi syari’ah ialah norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta.[24] Oleh karenanya syari’ah merupakan segala bentuk peribadaan, baik yang berupa ibadah khusus (‘ubudiyah) seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, haji maupun ibadah umum (mu’amalah) seperti hukum-hukum publik, hukum perdata, dll.[25]

3. Akhlak
            Dalam pandangan Islam tujuan utama kedatangan Nabi Muhammad saw adalah “Menyempurnakan akhlak manusia”, hal ini dijelaskan oleh beliau saw sendiri:

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad dan Bukhari)

            Oleh karenanya itu bisa dikatakan bahwa tujuan agama Islam dengan segala ajarannya adalah membangun manusia yang berakhlak luhur. Dengan demikian masalah pembinaan akhlak merupakan hal yang amat penting, sebab akhlak menyangkut martabat seseorang. Tanpa akhlak yng luhur manusia dianggap tidak berbeda dengan-malah mungkin lebih rendah dari binatang.

            Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Secara terminologis ada beberapa definisi. Misalnya menurut imam Al Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanan dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[26]

            Ruang lingkup akhlak yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan seorang muslim adalah:
a. Akhlak kepada Allah
b. Akhlak pada sesama manusia
c. Akhlak pada alam semesta.[27]



IV. Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas (Suatu kajian filosofis)

            Dalam konsep keTuhanan, Islam adalah suatu agama yang menyerukan pada ketauhidan. Hal ini sangat terlihat jelas di dalam sumber-sumber ajarannya, yaitu salah satunya adalah yang tertera di dalam al qur’an pada surat al ikhlas ayat 1-4:

  1. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa;
  2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya segala sesuatu;
  3. Dia tidak beranak dtidak pula diperanakan;
  4. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Nya.

Di dalam kitab suci al qur’an, surat ini adalah surat yang ke 112 dari 114 surat, dan ia termasuk ayat-ayat Makkiyah. Surat ini memang tidak panjang sehingga sangat mudah sekali untuk menghafalnya. Kendati demikian, kandungan atau makna yang terdapat di dalamnya sangatlah luas sekali, dan bisa dikatakan surat ini dapat mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan.

      Al kisah, pada zaman Rasul saw ada seorang lelaki mendengar seseorang membaca “qul huwallaahu ahad” secara berulang-ulang. Lelaki itu lantas mendatangi Rasul saw dan menceritakan kejadian yang baru dilihatnya dengan nada seakan meremehkan surat al Ikhlas. Mendengar cerita tersebut Rasul saw lantas bersumpah atas nama Allah, bahwa al ikhlas sesungguhnya memiliki nilai sebanding dengan sepertiga al qur’an (HR. Bukhari).

Dalam hadits yang lain, bahwa Rasul saw bersabda ”...Barang siapa yang membaca surat al Ikhlas tiga kali, ia seperti mambaca seluruh al qur’an (Tafsir Nur Ats-tsaqalayn 5/702)”)

Secara garis besar al qur’an berisikan tauhid, kisah dan hukum. Surat al ikhlas berisikan tauhid, itulah sebabnya surat ini memiliki keutamaan yang istimewa sesuai dengan sabda Rasul saw yang telah disebutkan di atas, yang mengibaratkan membaca satu kali surat al ikhlas berarti telah membaca sepertiga al qur’an.

·  Ayat 1: “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”
Apabila dikaji secara filosofis, kandungan tauhid yang terdapat di dalam ayat ini memberi penjelasan bahwa Allah swt adalah Maha Tunggal, Esa (ahad).  Menurut Imam Ath-Thabarasy di dalam kitab tafsirnya “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an”, dikatakan bahwa penggunaan kata “ahad” bukan dengan “wahid” itu dikarenakan wahid termasuk ke dalam kata “hisab” atau hitungan, sedangkan ahad itu berarti dzat Nya tidak terdiri dari dari rangkaian.. Kita boleh menjadikan bagi wahid itu dua dan seterusnya., akan tetapi kita tidak boleh menjadikan bagi ahad itu dua dan seterusnya.[28]
Oleh karena itu ayat ini memberi penjelasan kepada kita bahwa Allah itu bukan saja hanya wahid, tp Dia juga ahad. Tidak ada sekutu bagi Nya, dan Dia berdiri sendiri, bukan seperti senyawa ataupun molekul yang terdiri dari berbagai unsur, air misalnya yang terdiri dari H2O, yang meliputi unsur Hidrogen dan Oksigen. Demikian pula garam, Nachl, yang terdiri dari natrium dan kloroda.

Dari penjelasan tersebut keEsaan Allah swt yang terkandung di dalam surat al Ikhlas ayat pertama ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:


Ø      KeEsaan Allah swt pada dzat Nya (tauhid dzati)
Ø      KeEsaan Alah swt pada sifat Nya (tauhid sifat)
Ø      KeEsaan Allah pada perbuatan Nya (tauhid af’ali)[29]

1. Tauhid dzati (keEsaan Allah swt pada dzat Nya)
Tauhid dzati dalam istilah bermakna bahwa dzat Allah swt adalah satu, tidak satupun “mitsl” (serupa), sekutu dan yang setara dengan Nya.apabila dikaji secara mendalam tauhid dzati mempunyai makna yang lebih luas disamping makna yang disebutkan di atas. Tauhid ini meliputi:

  1. Penafian akan adanya sekutu bagi Allah swt (tauhid wahidi)
  2. Penafian akan adanya rangkaian-rangkaian/rangkapan pada dzat Allah (tauhid ahadi)[30]

Allah swt adalah Esa, dan tidak ada sekutu bagi Nya. Apabila diasumsikan ada dua Tuhan (wajib al wujud), maka ada dua kemugkinan:

Kemungkinan pertam: Salah satu dari dua Tuhan memiliki kesempurnaan mutlak. Sedangkan tuhan yang satunya tidak sempurna, terbatas, dan memiliki kekurangan. Dari dua kemungkinan ini sangat jelas, bahwa Tuhan hakiki adalah Tuhan yang memiliki kesempurnaan mutlak. Adapun tuhan yang kedua pasti bukan Tuhan, karena ia memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, berdasarkan kemungkinan pertama, ia menolak kejamakan Tuhan/adanya sekutu bagi Tuhan dan menegaskan keEsaan Tuhan.

Kemungkinan kedua: Masing-masing dari kedua Tuhan memiliki kekurangan/ketidak sempurnaan, sehingga untuk menutupi kekurangannya mereka saling melengkapi (bekerja sama). Kemungkinan ini sangat mustahil, karena zdat Tuhan suci dari berbagai bentuk ketidak sempurnaan.[31]

Dalam menafikan adanya sekutu bagi Allah, Allah swt berfirman:
“Kalau sekiranya ada beberapa Tuhan di langit dan di bumiselain Allah, niscaya binasalah keduanya. Maka MahaSuci Allah yang mempunyai ‘arsy dari apa yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiya’: 22)

Demikian Allah swt memberikan tuntunan berfikir terhadap hamba Nya tentang keMaha Esaan Nya. Andaikata ada dua Tuhan di dunia maka pada suatu saat pasti terjadi perebutan kekuasaan atau suatu persaingan, sedang mereka adalah pemilik kekuatan luar biasa (Maha Perkasa), maka siapakah yang akan menetralisir suasana??? Jika tidak ada sesuatu yang menjadi penengah di dalam kasus perselisihan itu, maka tidak ada kemungkinan lain kecuali kehancuran yang bakal terjadi.[32]

Selanjutnya Allah swt Esa, yang tidak memiliki rangkaian. Dalam hal ini salah satu filosof Islam yaitu Al Kindi, ia berpendapat bahwa Allah swt tidak mempunyai hakikat ‘aniah dan mahiah.tidak ‘aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di ala mini. Allah tidak tersusun dari materi (al hayula) dan bentuk (al shurat). Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah (universal) karena Allah tidak merupakan genus atau spesies.[33] Mahiah adalah sesuatu yang terbatas, karena wujudnya dapat dikonsepsi. Karena Allah swt tak terbatas, maka tak memiliki mahiah.

Kesimpulan dari uraian tersebut, bahwa akal hanya mampu mengurai dan menganalisis adanya kuiditas dan wujud pada maujud-maujud terbatas. Adapun wujud Allah adalah wujud murni yang tak bercampur dengan sesuatu apapun, termasuk kuiditas (mahiah).[34] Oleh karena itu, bagi Al Kindi Allah adalah unik.[35] Dalam hal ini Rasul saw bersabda: “Berfikirlah kalian akan makhluk Allah, dan janganlah kalian berfikir akan dzat Allah” (Al Hadits)

2. Tauhid  dalam sifat sifat (KeEsaan Allah swt pada sifat Nya)
            Di dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai kesatuan sifat dan dzat Allah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah swt niscaya memliki sifat-sifat yang sempurna, karena ketidak sempurnaan tersebut menandakan keterbatasan dan kebutuhan. Allah swt bebas dari keterbatasan dan kebutuhan, oleh karenanya sifat-sifat seperti hidup, ilmu, kudrat, kehendak dan sebagainya dimiliki oleh Allah swt dalam bentuk yang paling sempurna, mutlak dan tak terbatas.

            Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sifat-sifat tersebut mandiri dan tidak menyatu dengan dzat Allah swt? Ataukah sifat-sifat  tersebut sebelumnya terpisah dari dzat Allah swt dan kemudian menyatu dengan dzat Nya?? Dibawah ini ada dua argumen yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:

            Argumen pertama, ini berpijak pada dua mukadimah:
a. Kesempurnaan wujud Allah juga meniscayakan kesempurnaan sifat-sifat Nya.
b. Kesempurnaan sifat Nya berarti dzat menyatu dengan sifat. Dia tidak perlu sifat di luar dari dzat Nya. Sifat-sifat yang ada pada Nya berasal dari dzat Nya sendiri.[36]

            Kesimpulan dari dua mukadimah tersebut adalah: kesempurnaanAllah meniscayakan dzat suci Nya tak perlu pada sifat-sifat di luar dari dzat Nya. Oleh karena itu, argumen ini membuktikan bahwa dzat dan sifat Nya adalah satu.

            Argumen kedua, ini berpijak pada mukadimah sebagai berikut:
            Dzat Allah swt adalah wajib al wujud dan sebab dari seluruh sebab. Seluruh maujud-maujud selain Nya adalah akibat dari wajib al wujud. Seluruh kesempurnaan akibat seperti hidup, ilmu, kudrat dan iradat, dalam bentuknya lebih sempurna ada pada sebab. Karena sesuatu yang tidak dimiliki oleh sebab, tidak mungkin diberikan kepada akibat. Jadi, mustahil sifat-sifat Allah swt itu berada di luar dzat Nya. Karena hal itu akan meniscayakan ketidak adaan sifat dan berefek pada ketidak sempurnaan dzat Nya.

            Kedua mukadimah pertama di atas, terbukti bahwa dzat Allah swt memiliki seluruh kesempurnaan. Dan dengan menambahkan mukadimah terakhir, dihasilkan konklusi terakhir bahwa sifat-sifat Allah swt tidak di luar dzat Nya, akan tetapi manunggal dengan dzat Nya.

            Dari dua argumen yang telah diuraikan, terbukti bahwa dzat Allah dan sifat-sifat Nya bukan dua subyek yang berbeda tetapi satu realitas. Perbedaannya hanya pada tataran konsepsi (pemahaman).[37]


3. Tauhid af’ali (keEsaan Allah swt dalam perbuatan Nya)
a. Tauhid dalam penciptaan
            Secara garis besar tauhid dalam penciptaan bermakna, meyakini bahwa pencipta yang hakiki (sesungguhnya) adalah Allah swt. Adapun pencipta yang dihasilkan oleh seluruh keberadaan selain Allah swt berada dalam lingkaran penciptaan Allah swt, karena Allah swt causa prima (sebab pertama) dari segala sesuatu, dan semuanya itu tunduk pada iradah (keinginan/kehendak) Allah swt. Dengan demikian adalah Khalik (Sang Pencipta) dan seluruh keberadaan selain Nya adalah makhluk (ciptaan Nya), baik melalui perantara maupun tidak.
b. Tauhid dalam pengaturan
Meyakini bahwa hanya Allah swt-lah yang mengatur alam semesta beserta isi-isinya, ini juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dalam hal ini ada dua argumentasi yang tidak akan mungkin dibantah dan pasti akan diterima oleh akal sehat, yaitu:
Argument pertama: Pengaturan merupakan kemestian dari kepemilikan hakiki. Jika suatu maujud bukan pemilik hakiki atas maujud lain, maka ia tidak akan dapat mengaturnya secara hakki dan mandiri. Kepemilikan hakiki merupakan keniscayaan dari pencipta hakiki. Karena wujud ciptaan beserta seluruh kondisi-kondisi wujudnya berasal dari penciptanya, maka dari itu pengaturan merupakan konsekuensi dari penciptaan. Karena Allah adalah satu-satunya pencipta hakiki dan mandiri, maka seluruh ciptaan-ciptaan di alam raya ini berada pada pengaturan Nya. Tak ada maujud lain selain Nya yang memiliki pengaturan hakiki dan mandiri kecuali hanya bersifat nisbi dan relatif.
            Argumen kedua: Jika diasumsikan terdapat pengatur-pengatur yang beragam di alam eksistensi ini yang mana mempunyai derajat yang sama dalam pengaturan dan secara mandiri mengatur perkara-perkara alam ciptannya, maka konsekuensi dari asumsi itu adalah berlakunya system yang khusus di alam ini. Tetapi sebagaimana yang kita saksikan sendiri di alam ini, yakni berlakunya suatu sistem yang harmonis dan seimbang antara ciptaan-ciptaan dan perkara-perkara yang terdapat di dalamnya berjalan seiring dan teratur. Realitas ini menjadi saksi dan bukti yang sangat kuat tentang adanya satu sistem pengaturan di bawah pengatur hakiki dan mandiri, Dialah Allah swt.[38]
            Mengenai argumen yang kedua ini, Ibnu Rusyd (salah satu filosof muslim) dalam bukunya “Manaahij Al Addillah” mengatakan bahwa: Tatanan alam dibuktikan (diungkapkan) melalui harmoni yang bisa dilihat pada bagian-bagiannya dan pada benda-benda yang ada di dalamnya. Ia tidak hanya harmoni permukaan dan lahirnya saja, tetapi juga harmoni dalam batin dan intinya, yang mengingatkan kita kepada tujuan internal seperti yang dikatakan oleh Kant (1804 M) dari kalangan modern. Harmoni ini bukan kebetulan an sich, tetapi merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Pengatur dan Bijak. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa “Ciptaan pasti ada yang menciptakan, dan gerak pasti ada yang menggerakkan. Pencipta dan penggerak itu adalah Allah Jalla Sya’nuhu”[39]
            Demikianlah penjelasan filosofis tentang keEsaan Allah swt yang terkandung di dalam surat al ikhlas ayat 1 “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”. Di sini terlihat jelas bahwa Allah swt adalah dzat yang Esa serta memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu hanya Dialah yang layak untuk disembah. Adapun keberadaan-keberadaan yang lain selain Nya, karena ketidak sempurnaan, kelemahan, dan kekurangan serta ketergantungan maka tidak layak untuk menjadi dzt yang disembah.
·   Ayat 2: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya segala sesuatu”
Ayat ini menjelaskan bahwa semua makhluk ciptaan Allah swt bergantung kepada Nya. Allah adalah pencipta segala sesuatu baik melalui perantara maupun tidak, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah swt adalah causa prima (sebab pertama) dari segala sesuatu. Oleh karena itu semua maujud-maujud selain Nya adalah faqir, bergantung dan butuh kepada Nya.[40]
            Kefakiran makhluk-makhluknya bisa dilihat dari berbagai aspek kehidupannya, semua makhluk berdo’a/berhasrat kepada Nya. Tidak hanya itu, bahkan keberadaannyapun butuh (bergantung) pada Khalik, Allah swt.  Dialah tujuan dari segala makhluk (berasal dari Nya dan akan kembali kepada Nya). Dia Maha Sempurna, Yang Maha Mengetahui dan sempurna dalam ilmu-ilmu Nya, Yang Maha Lembut dan sempurna dalam kelembutan Nya. Kasih sayang Nya meliputi segala sesuatu, demikian juga segala sifat yang dimiliki Nya
·  Ayat 3: “Dia tidak beranak dan tidak diperanakan”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt tidak mempunyai anak karena Dia adalah dzt Yang Maha Mulia dan Maha Agung, tidak ada yang setara dengan Nya. Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuany. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw kepada putrinya Fathimah: “Ia adalah bahagian dari diriku”
Allah swt tidak ada yang serupa dengan Nya. Anak merupakan salah satu kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun untuk menjaga kesinambungan keturunan. Dalam hal ini, Allah swt tidak memerlukan itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang serupa dengan Nya, dan Allah swt tidak memerlukan sesuatu apapun dari makhluk Nya.[41] Tidak ada perlunya bagi Allah mempunyai anak, istri atau orang tua. Hal ini karena sifat ketunggalan Nya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
·  Ayat 4: “Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Nya”
Ayat ini memliki kandungan bahwa tidak ada sesuatupun yang menyamai seluruh sifat-sifat Nya (dzat dan perbuatannya). Hal ini dikarenakan Allah swt adalah Khalik (wajib al wujud) yang tidak terbatas dan memiliki kesempurnaan mutlak, sedangkan selain Nya adalah makhluk (mumkin al wujud) yang memiliki keterbatasan dan kekurangan. Bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas tersebut dapat menyamai Allah swt Yang Maha Sempurna???

KESIMPULAN
Islam adalah agama tauhid. Kedudukan tauhid di dalam Islam sangatlah tinggi, bahkan merupakan yang paling tinggi. Kedudukannya yang begitu tinggi, ini dikarenakan tauhid merupakan hak Allah swt yang paling besar atas hamba-hamba Nya,  sebagaimana yang terlihat dari hadits Mu’adz bin Jabal ra. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba Nya dan hamba atas Allah?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: ”Hak Allah atas hamba Nya adalah mereka menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatupun”. (HR. Bukhari dan Muslim
Secara bahasa tauhid artinya mengesakan, sedangkan secara istilah berarti mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur, dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain Nya serta menetapkan asma’ul husna (nama-nama yang bagus) dan sifat al ulya (sifat-sifat yang tinggi) bagi Nya dan mensucikan Nya dari kekurangan dan cacat. Dalam hal ini, mayoritas para ulama membagi tauhid menjadi tiga bagian, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid asma’ wa shifat dan tauhid uluhiyyah (tauhid dalam ibadah). Hal ini mungkin dilakukan demi mempermudah pemahaman tentang tauhid itu sendiri.
Surat al Ikhlas adalah sebagian isi dari kitab suci al qur’an yang membicarakan tentang katauhidan. Kendati isi suratnya tidak panjang, namun makna yang terdapat di dalamnya sangat luas sekali, dan bisa dikatakan surat ini dapat mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan. Jika dikaji secara filosofis, isi kandungan dari surat ini ternyata sudah melingkupi seluruh sisi keEsaan Allah swt, baik itu tauhid rububiyyah, tauhid asma’ wa shifat dan tauhid uluhiyyah.


Secara garis besar al qur’an berisikan tauhid, kisah dan hukum. Kandungan yang terdapat di dalam surat al ikhlas, ternyata sudah bisa mewakili ajaran-ajaran tauhid yang ada di seluruh isi al qur’an tersebut. Mungkin itulah sebabnya surat ini memiliki keutamaan yang istimewa sesuai dengan sabda Rasul saw ”...Barang siapa yang membaca surat al Ikhlas tiga kali, ia seperti mambaca seluruh al qur’an (Tafsir Nur Ats-tsaqalayn 5/702)”)

“...bahwa al ikhlas sesungguhnya memiliki nilai sebanding dengan sepertiga al qur’an.” (HR. Bukhari).


[1] Drs. Abu Tholib Khalik,  M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan Alam Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, hal 23
[2] Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996,hal 15
[3] Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan pranata sosia kemasyarakatan, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002, hal 5
[4] Sutisna Senjaya. Pengetian Tauhid. Http://Sutisna.com/artikel/artikel-keislaman/pengertian-tauhid/. Diakses 22 Maret 2010
[5] M.’Abdul Ghaffar E.M, Hal-hal yang wajib diketahui setiap muslim, Pustaka Imam Asy Syafi’I, Jakarta, 2007, hal 133
[6] Ibid
[7] Abu Bakar Al Jazairi, Akidah Mukmin, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2002, hal 73
[8] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 20
[9] Hadits kutipan dari http://aboeaswad.wordpress.com/2010/06/11/macam-macam-tauhid-dan-faedahnya/
[10] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka Imam Syafi’I, Bogor, 2006, hal 163
[11] Achmad Chodijim, An Nas (cet-1), PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hal 30
[12] H. Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, Manhaj ‘Aqidah Imam Syafi’I, Pustaka Imam Asy Syafi’I, hal 283
[13] Hadits kutipan dari http://akhwat.web.id/muslimah-salafiah/aqidah-manhaj/kedudukan-tauhid-dalam-islam-dan-urgensinya/
[14] Anonim. Tauhid. Http:id.wikipedia.org/wiki/Tauhid. Diakses 8 Juni 2011
[15] Ihsan Ali Fauzi, Membumikan Al qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka, 2002, hal 51-52
[16] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, Grasindo, Surabaya, 2009, hal 15-16
[17] Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, SH, Ilmu Dan Teknologi Dalam Islam (cet-2), PT Rineka ipta, Jakarta, 1992, hal 6
[18] Choiruddin Hadhuri, SP, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an Jilid 1, Gema Insani Press, Jakarta, hal 74
[19] Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, loc cit, hal 7
[20] Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 78-79
[21] Dr. Bustanuddin Agus, MA, Al Islam (buku pedoman kuliah mahasiswa untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993, hal 78
[22] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, loc cit, hal 19
[23] Ibid
[24] Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam (pokok-pokok fikiran tentang Islam dan ummatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 26
[25] Http://stkip.files.wordpress.com/2011/05/pendidikan-agama-Islam.pdf
[26] Solihin, Yes I am Muslim, Gema Insani, hal 89
[27] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, loc cit, hal 20
[28] Anonim. Tafsir Surat Al Ikhlas. http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/11/tafsir-surat-al-ikhlas.html. Diakses 8 November 2010
[29] Anonim. Monotheisme Dalam Islam 2. Http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/17/monotheisme-dala m-Islam-2/. Diakses 17-11-2007
[30] Ibid
[31] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat. http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/. Diakses 23-11-2007
[32] Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, loc cit, hal 25
[33] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 51
[34] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat. http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/. Diakses 23-11-2007
[35] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Op cit
[36] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat. http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/. Diakses 23-11-2007

[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Drs. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran Dan Teori Filsafat Islam (Cet-3), Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hal 119
[40] Ibid
[41] Anonim. Http://www.almanhaj.or.id. Diakses …



DAFTAR REFERENSI

1. Drs. Abu Tholib Khalik,  M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan Alam Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Bandar Lampung
2. Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996
3. Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan pranata sosial kemasyarakatan, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002
4. Sutisna Senjaya. Pengetian Tauhid. Http://Sutisna.com/artikel/artikel-keislaman/p engertian-tauhid/. Diakses 22 Maret 2010
5. M.’Abdul Ghaffar E.M, Hal-hal yang wajib diketahui setiap muslim, Pustaka Imam Asy Syafi’I, Jakarta, 2007
6. Abu Bakar Al Jazairi, Akidah Mukmin, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2002
7. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996
8. Wiwit Hardi Priyanto. Macam_macam Tauhid Dan Faedahnya. Http://aboeaswad. wordpress.com/2010/06/11/macam-macam-tauhid-dan-faedahnya/. Diakses 23 Mei 2010
9. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka Imam Syafi’I, Bogor, 2006
10. Achmad Chodijim, An Nas (cet-1), PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008
11. H. Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, Manhaj ‘Aqidah Imam Syafi’I, Pustaka Imam Asy Syafi’I
12. Al ustadz Abdurrahman Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, Kedudukan Tauhid Dalam Islam Dan Urgensinya. Http://akhwat.web.id/muslimah-salafiah/a qidah-manhaj/kedudukan-tauhid-dalam-islam-dan-urgensinya/. Diakses 20 Jumada al ula 1430 H
13. Anonim. Tauhid. Http:id.wikipedia.org/wiki/Tauhid. Diakses 8 Juni 2011
14. Ihsan Ali Fauzi, Membumikan Al qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka, 2002
15. Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, Grasindo, Surabaya, 2009
16. Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, SH, Ilmu Dan Teknologi Dalam Islam (cet-2), PT Rineka ipta, Jakarta, 1992
17. Choiruddin Hadhuri, SP, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an Jilid 1, Gema Insani Press, Jakarta
18. Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
19. Dr. Bustanuddin Agus, MA, Al Islam (buku pedoman kuliah mahasiswa untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993
20. Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam (pokok-pokok fikiran tentang Islam dan ummatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
21. Http://stkip.files.wordpress.com/2011/05/pendidikan-agama-Islam.pdf
22. Solihin, Yes I am Muslim, Gema Insani
23  Anonim. Tafsir Surat Al Ikhlas. Http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/11/ tafsir-surat-al-ikhlas.html. Diakses 8 November 2010
24. Anonim. Monotheisme Dalam Islam 2. Http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/17/ monotheisme-dala m-Islam-2/. Diakses 17-11-2007
25. Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat. http://Isyraq.wordpress.com/20 07/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/. Diakses 23-11-2007
26. Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
27. Drs. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran Dan Teori Filsafat Islam (Cet-3), Bumi Aksara, Jakarta, 2004
28. Anonim. Http://www.almanhaj.or.id. Diakses …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar